Wednesday, March 29, 2017

Bang Becak



"Exploitation  de  l'homme par l'homme"? 

Ia sama sekali  tidak merasa dirinya diperas oleh sesama manusia.

Apa yang dinamakan dengan pemerasan manusia
oleh manusia dalam bahasa Perancis itu  tidak
lain dari memperkerjakan orang tanpa memberi-kannya imbalan  yang layak.

Misalnya mereka yang diupah dibawah upah minimum untuk bisa hidup.

Inilah yang tidak manusiawi. Tidaklah demikian dengan  profesi ngebecak. 

Putri mahkota kerajaan Muangthai Sirindhorn didam­pingi Dubes Indonesia untuk Muangthai, Subambang berkenan mengayuh becak ketika mengunjungi  Indonesia.

Begitu pun mantan perdana  menteri  Trudeau,
seingat saya. 

Tak  perlu menampilkan dirinya dalam  jas,  sepatu
dan dasi, tak perlu ber-SKJ (Senam Kesegaran Jasmani), tak terserang tekanan darah tinggi karena kegemukan, dibalik celana dan baju yang lusuh tampak sepasang kaki, paha, lengan yang kuat dan tubuh yang serasi.

Dan soal makan, tak kurang nikmat dan lahapnya ia makan  di warteg, tidur nyenyak di dalam becaknya ditengah kebisingan kota, tak kurang dari mereka yang makan dan menginap di hotel berbintang lima pun. 

Ah, jangan merendahkan dia. Profesi ngebecak? Sama terhormat.              

Bisnis Indonesia, 9 Pebruari l990

  • This is my book:

Tuesday, March 28, 2017

Beauty




See beauty, a heaven in loving eyes.

  • This is my book:

 

Saturday, March 25, 2017

Sinterklas

Orang boleh membohongi orang lain kalau bohong itu indah, bohong yang menyembunyikan kejutan, rahasia yang indah.

Seperti Sinterklas dari Spanyol yang naik kuda membawa hadiah melalui genteng kala anak-anak tidur. Begitu kata opa pada cucu-cucunya.


Sinterklas  atau  Kerstman  (kakek  Natal  pembawa hadiah) bagi saya telah menjadi lambang seseorang yang membawa hadiah, derma, kebaikan, rejeki, berkah, tanpa ingin diketahui identitasnya, agar membebaskan penerimanya dari hutang budi.                                       

  • This is my book:

Count Our Blessings Or Curse Our Fate



It’s sad for President Clinton who is handsome and manly. 

If only his eagerness, ardor for women weren’t so large and could be limited by the “fences” set out by his wife as his American society requires. If he were a man born in King Solomon’s age, he could have had a hundred wives. Having a love-affair is protested by his community, let alone having ten wives.

We know that planet Earth is full of beautiful, charming and warm women. 

Have we to count our blessings or to curse our fate?  

The  Jakarta Post January 8, 1994

  • This is my book: