Saturday, April 22, 2017

Kalau Hati Sedang Resah



Baru saya baca habis sebuah novel yang beruntung meraih hadiah Pulitzer. Tulisan itu disanjung para kritikus surat kabar, diangkat menjadi film utama disutradarai orang top, entah diterjemahkan ke berapa bahasa asing.

Sementara tulisan-tulisan saya belum lagi diterima penerbit. Tidak “tuli”, juga tidak “buta” mendengar atau membaca pemberitaan kehebatan orang, cenderung menyebabkan hati menjadi resah, diri serasa kecil, bagai “Sang Itik Yang Buruk Rupa” dalam dongeng Andersen. 

Sayup-sayup teringat kata-kata pak Arif.

Kelebihan apa yang dapat saya banggakan di atas orang lain? Kalaupun ada kelebihan, itu bukan berkat kehebatan, kebisaan saya, melainkan apa yang dianugrahi Sang Pencipta. Mungkin kelebihan itu dalam bentuk bakat, kepekaan, naluri pada keindahan, atau bisa juga dalam bentuk kesabaran, ketekunan, kerajinan, disiplin, …

Dan kalau ada orang yang melebihi, lebih beruntung dari saya, mengapa mesti iri? Bukankah keunggulan itu Tuhan juga yang menganugrahi-nya?

Kalaupun saya dianggap orang baik-baik, apanya yang perlu dipuji? Mungkin kadar minat, atau “dahaga” saya saja yang dibuatNya lebih kecil, sehingga tidak terlalu “haus” terhadap uang, kedudukan, atau tidak terlalu “tergiur” terhadap “buah-buah” terlarang. Itupun bukan saya punya bisa.

Walau dilahirkan “bugil” tanpa anggauta, tanpa suara, Sang Cacing tentu bersyukur dan bahagia. Sibuk dalam kesenangan, menunaikan kodratnya, mengolah, menggali tanah, ia tak iri pada Sang Kupu-kupu yang bersayap indah, berwarna-warni, maupun pada Sang Kenari yang bersuara dengan kicauan merdu. Yang satu rajin dalam menunaikan kodratnya menghisap madu dan yang lainnya giat memenuhi panggilan hidupnya dengan berkicau.

Begitu pesan Pak Arif, dan sayapun menjadi damai dan senang.

Pelita 12 Nopember 1996


  • This is my book:

No comments: