Baru
saya baca habis sebuah novel yang beruntung meraih hadiah Pulitzer. Tulisan itu
disanjung para kritikus surat kabar, diangkat menjadi film utama disutradarai
orang top, entah diterjemahkan ke berapa bahasa asing.
Sementara
tulisan-tulisan saya belum lagi diterima penerbit. Tidak “tuli”, juga tidak
“buta” mendengar atau membaca pemberitaan kehebatan orang, cenderung
menyebabkan hati menjadi resah, diri serasa kecil, bagai “Sang Itik Yang Buruk
Rupa” dalam dongeng Andersen.
Sayup-sayup teringat kata-kata pak Arif.
Kelebihan
apa yang dapat saya banggakan di atas orang lain? Kalaupun ada kelebihan, itu
bukan berkat kehebatan, kebisaan saya, melainkan apa yang dianugrahi Sang
Pencipta. Mungkin kelebihan itu dalam bentuk bakat, kepekaan, naluri pada
keindahan, atau bisa juga dalam bentuk kesabaran, ketekunan, kerajinan,
disiplin, …
Dan
kalau ada orang yang melebihi, lebih beruntung dari saya, mengapa mesti iri?
Bukankah keunggulan itu Tuhan juga yang menganugrahi-nya?
Kalaupun
saya dianggap orang baik-baik, apanya yang perlu dipuji? Mungkin kadar minat,
atau “dahaga” saya saja yang dibuatNya lebih kecil, sehingga tidak terlalu
“haus” terhadap uang, kedudukan, atau tidak terlalu “tergiur” terhadap
“buah-buah” terlarang. Itupun bukan saya punya bisa.
Walau
dilahirkan “bugil” tanpa anggauta, tanpa suara, Sang Cacing tentu bersyukur dan
bahagia. Sibuk dalam kesenangan, menunaikan kodratnya, mengolah, menggali tanah,
ia tak iri pada Sang Kupu-kupu yang bersayap indah, berwarna-warni, maupun pada
Sang Kenari yang bersuara dengan kicauan merdu. Yang satu rajin dalam
menunaikan kodratnya menghisap madu dan yang lainnya giat memenuhi panggilan
hidupnya dengan berkicau.
Begitu
pesan Pak Arif, dan sayapun menjadi damai dan senang.
- This is my book:
No comments:
Post a Comment