Meski telah menjaga
sebaik-baiknya, makin banyak gigi saya yang rusak, tanggal dan tak bisa
ditumbuhkan kembali. Namun, saya bersyukur pada gigi-gigi itu, yang
telah melakukan tugasnya lebih dari setengah abad.
Kalau pun gigi
saya sampai habis, saya masih bisa memakai gigi buatan, bak orang
memakai wig. Kehilangan gigi saja, - orang buta malah kehilangan
penglihatannya -, mengapa harus resah?
Hawking saja kehilangan
kemampuan untuk bicara dan lumpuh. Otaknya begitu cemerlang. Ia masih
sanggup memberi kuliah, ceramah dan menulis buku-buku ilmiah.
Yang masih
saya miliki dan tersisa, tak terhitung nilainya dan begitu banyak
ketimbang apa yang telah hilang dan rusak.
Begitu kata saya pada pak Arif.
Benar,
bersyukurlah, katanya, tetapi kita juga patut bersyukur untuk pemberian
mata, demi mengetahui apa merah, putih, bundar, persegi, besar, kecil.
Untuk telinga, demi mengenal apa suara lembut, kuat, nada tinggi, rendah.
Untuk lidah, agar tahu bagaimana rasanya asin, manis, asam, pahit, gurih.
Untuk hidung, selain untuk bernafas, agar tahu apa harum itu, apa berbau busuk.
Untuk tangan, kaki, yang memegang, menyentuh, memeluk, bekerja, berjalan, berlari, memanjat, berenang, menari.
Untuk otak, agar bisa mengingat, mengenang, melamun, menkhayal, bernalar.
Untuk
hati, agar tahu betapa indahnya mencintai, bermimpi, pedihnya merindu,
tahu antara yang baik dan buruk, antara suka dan duka, mau pun bersyukur
untuk kelamin, yang membedakan dan menyatukan pria
dan wanita dalam pasangan.
Apa
yang diberikanNya tak dapat diukur uang sebesar apa pun. Selain
menyelesaikan begitu banyak ragam tugas dengan setia setiap hari, mereka
menyimpan seribu satu kejutan yang menyenangkan.
Mata saya telah
melihat, membaca, memandang apa yang indah dan memesona, telinga saya
telah mendengar musik, suara, nyanyian amat merdu, lidah merasakan apa
yang amat lezat, hidung menghirup, mencium apa yang paling harum dan
segar bak di surga saja.
Oh, hati saya telah merasa bahagianya
hidup kala mencintai dan dicintai seorang. Betapa manisnya hidup ketika
sama-sama berlomba, bertengkar untuk boleh berkorban dan berebut untuk
saling memberikan apa yang terbaik dan terindah. Meski memiliki sedikit
pun, yang sedikit itu terasa begitu berlimpah.
Pak Arif terdiam.
Terbayang hidup tanpa mata. Gelap, apa yang bisa dilihat?
Sunyi, tanpa telinga, apa yang bisa didengar.
Suram, tanpa penciuman, tanpa ingatan, tanpa jenis kelamin dan tanpa-tanpa lainnya.
Dan
masih ada apa yang disebut kelahiran, hidup dan mati, lanjutnya.
Tak
terpikir, tak terbayangkan, tak terjangkau, Seniman maha akbar macam apa
yang sanggup menciptakan jagat raya berikut segala isinya dan makhluk
hidup secemerlang itu? Begitu serunya.
Dan saya pun tersentak, terjaga dari lamunan, bersyukur atas “impian” indah ini.
Epilog
Membaca tulisan diatas, si upik dengan tersenyum berkata:
Kita
memang patut bersyukur dilengkapi dengan mata, telinga, hidung,
perasaan, lidah,namun apa yang mau dilihat kalau tidak ada siang meski
mempunyai mata?
Tidak akan ada bintang, kunang-kunang yang tampak jika tidak ada malam.
Bumi bagaikan beku, mati jika tidak ada gerakan seperti awan yang berlayar, air yang mengalir, pohon-pohon yang melambai, burung-burung yang terbang, ikan-ikan yang berenang, makhluk hidup yang merangkak dan bernafas.
Bumi akan dingin, jika tidak ada hangat, panas.
Hambar, membosankan, gersang jika tidak ada warna, keharuman dan rasa, meski dikaruniai mulut, hidung dan mata.
Dan setelah menciptakan Maha Karya ini, Ia tidak lupa menciptakan suara. Suara angin yang mendesau, suara ombak yang menderu, suara burung-burung yang berkicau, bunyi gamelan yang agung, suara sinden cantik yang merdu, bak pesta pujian, nyanyian, demi memecahkan kebisuan, kesunyian bumi.
Tanpa adanya suara, memiliki telinga pun menjadi sia-sia.
Suara Karya, 14 Desember 1996
Berita Buana, 24 Pebruari 1997
Komentar Pak Arif
Kalau
anda sebelumnya tidak tahu apa mata itu, tidak tahu apa-apa, apa anda
dapat menciptakan suatu makhluk dengan mata, dengan sayap, sirip, dengan
tulang, dengan ingatan, nafas, menciptakan ruang, waktu, hidup, mati,
tanpa bisa menyontek?
September 2010
- This is my book:
No comments:
Post a Comment