Friday, February 3, 2017

R a n k i n g

Wow, alangkah sedihnya jika harkat, martabat manusia hanya ditentukan "ranking" seseorang.

Pada hakekatnya, ranking disekolah, memaksa semua murid ikut dalam perlombaan belajar secara terselubung. Mereka yang hanya pas-pasan dan sedang-sedang saja,dalam hati mengumpat: "Nah, bagaimana jika para wanita juga kita ranking demi meningkatkan mutu kecantikan wanita Indonesia?"


Ranking merendahkan martabat para siswa urutan bawah, bagai men-cap mereka sebagai murid yang "bodoh". 

Tak mungkinkah jika bersekolah, pencerdasan bangsa bisa dilakukan secara menyenangkan tanpa menimbulkan sengsara, iri, rasa malu dan kesombongan?


Sebuah cerita Rumi mengisahkan seorang cendekiawan sedang menyeberangi sungai sambil asyik membaca buku.

"Kau pernah membaca tulisan Omar Khayam?" tanyanya kepada si pengayuh perahunya.

"Tidak pernah tuan, karena saya buta huruf."

"Wahai manusia, jika demikian sia-sialah hidupmu, karena tak akan pernah bisa menikmati maha karya pujangga-pujangga besar dunia seperti Omar Khayam, Shakespeare, atau Goethe."


Tidak lama kemudian udara mendung dan angin mulai kencang.

"Apa tuan bisa berenang?" tanya si pendayung itu. "Tidak." jawabnya.


"Kalau begitu, sia-sialah segala pengetahuan, kedudukan dan hidup tuan, karena badai datang menyerang."


Dan tukang perahu yang buta huruf itu selamat karena kepandaiannya bisa berenang.


Selain pendidikan, apa yang tidak diranking? Orang menghormati, memuja, mengelu-elukan mereka yang ranking atas sebagai bibit unggul, elit otak, yang nomor satu, yang terkaya, paling tenar, yang tercantik dan sebaginya. Dengan turunnya ranking seseorang, turun pula martabatnya di mata dunia.

Lalu salahkah mereka, jika tidak dikaruniai IQ seorang jenius, keberanian seorang pahlawan, wajah bintang film, darah seni, atau tidak punya duit?


TV pernah menayangkan suatu peristiwa kesenian,bukan dari para seniman tenar, bukan pula dari orang-orang normal, juga bukan dari golongan yang kecerdasannya rendah, melainkan dari orang-orang yang tergolong ranking lebih rendah lagi, yakni dari yang cacat mental. Entah masyarakat mana yang begitu beradab sehingga tetap menganggap mereka sebagai manusia bermartabat.



Jayakarta, 30 Desember 1992


  • This is my book:

No comments: