Saya teringat orang yang rumah, harta bendanya habis terbakar bagai kisah Ayub di zaman dulu, ludes dilanda malapetaka. Ia juga merangkak dari bawah, membangun kembali rumah yang lebih besar, lebih kuat dan usahanya tambah maju.
Saya membayangkan Ayub masa kini berkata, “Kalau pun kekayaan saya habis, usaha saya bangkrut, jabatan saya dicopot, mengapa resah?
Saya datang tanpa pakaian, tanpa membawa harta benda, tanpa kedudukan dan jabatan.
Dengan sedikit keringat dan memutar otak saja, saya bisa membangunnya kembali.
Jika penglihatan saya diambil akan saya belajar melihat dengan jari-jari dan pendengaran saya. Mata batin saya tetap saja awas, seraya hidup di terang dunia batin, lalu menghimpun kekayaan batin yang tak dapat dicuri, dirampok orang.”
Andaikan kita membuat Ayub dihinggapi penyakit akan ia katakan, “Berkat penyakit sesak napas (bengek) mempunyai bakat keturunan sakit gula, atau sakit encok misalnya, saya tersadar, alias dicerahkan apa artinya kesehatan.
“Kalau saya sampai ditinggalkan semua teman-teman, kalau sampai ditinggalkan anak-anak, bahkan dibohongi, ditinggal-kan istri saya pun, masih ada anjing saya.
Ia makhluk terakhir yang akan meninggalkan saya, itu pun kalau ia sanggup, tega meninggalkan saya. Boro-boro kabur, anjing saya kalau diusir, tetap saja kembali.”
Silahkan! Beribu-ribu kali dipersulit, dihadang, dijatuhkan, dibohongi, Ayub tidak kehilangan akal, tidak kapok-kapok, tidak akan menyerah.
Ayub bak batang yang dipotong yang tak habis-habisnya menumbuhkan pucuk-pucuk baru, bak rumput yang diinjak yang selalu bangkit kembali.
Dimuat Jayakarta, April 1, 1998
This is my book. You can read it.
No comments:
Post a Comment