Melihat wanita-wanita Barat dengan sarung kebaya, yang pria memakai blangkon, duduk bersila di lantai menabuh gamelan dalam pagelaran Festival Gamelan Internasional di Taman Wisata, Candi Prambanan, ditayangkan TV entah di tahun 1996, saya sepertinya terbuai berkunjung ke suatu zaman di masa depan.
“Dimana Indonesia?” tanya seorang wisatawan.
“Ini Indonesia.” jawab saya.
“Mana mungkin? Ini pencakar-pencakar langit seperti di Tokyo, itu Hollywood Inn, Thousand and One Night Amusement Center. Saya makan sukiyaki, sashimi, pizza, hotdog, buah pir, apel, anggur, minum Coca Cola, root beer, mendengar musik disko.
Dimana sawah-sawah, Puncak dan hutan tropis yang begitu dibanggakan Indonesia? Ah. Jangan berolok-olok. Ini tentu bukan Indonesia, tetapi di negara lain.”
“Betul, saya tidak main-main. Indonesia asli berikut hutan-hutannya sudah punah, sudah seratus persen kebarat-baratan. Rambut pirang orang-orang cuma dicat.
Kalau mau menemui Indonesia aslinya, ya, Anda harus pergi ke …” dan saya mengambil peta dan menunjuknya suatu daerah di khatulistiwa. Di situlah masih ada Indonesia dalam miniatur, di mana kebudayaan asli Indonesia dihormati, dijunjung tinggi dan dilestarikan.
Untung kita belum separah itu. Saya tersentak dari lamunan.
Wah bagaimana kalau kita suatu waktu harus berguru, belajar kebudayaan sendiri dari orang-orang asing yang ahli? Kalau Indonesia asli, hutan tropis tidak ada lagi di sini, melainkan di luar negeri?
“Kita engga punya harga diri.” Kata si Ucok.
“Kita doraka.” Kata si Upik.
Dimuat Suara Karya, 6 Pebruari 1996
This is my book. You can read it.
No comments:
Post a Comment