Coba kita tidak diberitahu, kita tidak pusing-pusing mesti menyiksa diri dengan datang melayat, menyampaikan ucapan “ikut berduka cita”, memasang muka yang sedih dan duduk “termenung” berlama-lama.
Kalau pun orang mempunyai niat baik, berkunjunglah dulu, waktu ia masih hidup dan segar bugar, bukan baru (disuruh) datang kalau ia sudah mati.
Lalu bagaimana bisa merasa kehilangan, kalau kita hampir tidak pernah melihatnya.
Lain ketika si Foxy mati. Upik, sekeluarga, benar merasa kehilangan. dan diam-diam berkabung Setiap hari ia dekat, dipeluk dan tidur bersama upik, melebihi orang.
Andaikan orang yang upik sayangi meninggal, upik sengaja tidak akan memberi tahu orang-orang atau memasang iklan. Mereka toh tak mungkin bisa membayangkan, ikut merasakan kehilangan itu.
Kata-kata hiburan seindah apapun toh tak dapat menghapus rasa ini. Lagi pula, upik tentu tidak akan tahan kalau melihat orang dengan kesedihan yang dibikin-bikin.
Bagi orang yang dicintai, disayangi, kita pergi tanpa perlu disuruh-suruh, tanpa perlu mengucapkan “ikut berduka cita” tanpa perlu diketahui orang-orang.
Begitu komentar si upik, ketika menerima tilpon bahwa entah paman mana telah meninggal.
Si Foxy dikubur di kebun. Rasanya ia tetap dekat ada bersama kami. Si upik diam-diam membersihkan tanahnya dari batang-batang mati yang berserakan, menanami beberapa tanaman dan meletakkan bunga diatasnya.
Mei 2000
This is my book. You can read it.
No comments:
Post a Comment