Pilih sepeda yang kuat, bagus dan harganya murah. Nanti saya sediakan uangnya. Tapi, jual sepeda yang lama, ya.
Ngga enak benar diatur-atur, dikejar-kejar untuk cepat mencari sepeda baru. Mentang-mentang saya sudah kakek, tidak punya penghasilan, saya mau diatur-atur. Lebih enak kasih aja uangnya, biar saya yang mengatur.
Tak tega rasanya kalau sepeda lama saya itu yang begitu berjasa, mesti diloakkan dulu. Kalau sepeda lama mesti diloakkan, ya engga usahlah dibeliin sepeda baru.
Tanpa mesti diminta dulu, Tuhan aja memberi kita tangan tanpa memaksa kita mesti memakainya untuk berdoa saja. Kita bebas memakainya sesuka kita. Untuk bekerja, membelai, memeluk, bermain piano, melukis, menari, memberkati, ya, juga untuk memukul atau menyakiti orang, makhluk lain, tapi kalau ... tega. Ha, ha, ha.
Itupun baru tangan, belum lagi kaki kita, belum lagi yang lain-lainnya. Begitu cerita Opa Johan pada saya.
Saya terdiam dan membatin. Kalau saya nanti mau membantu orang dengan sesuatu, sebaiknya memberinya dalam bentuk uang saja ketimbang dalam bentuk barang, apa lagi jangan sampai dalam bentuk hutang, seperti IMF dengan 50 persyaratan mesti begini-begitu.
Memberinya sebagai hadiah pada orang yang hidup dalam kesempitan, kalau mengingat pepatah:
UANG BAIK KALAU MENGHAMBA, TETAPI BURUK KALAU BERKUASA.
Tentu ia amat menghargainya dan merasa amat girang, bersyukur, meski itu sedikit. Uangnya menghamba tuh. Ia akan memakai hamba alias uang itu secara bijak untuk keperluan yang paling penting, tanpa perlu merendahkan diri dengan mengemis-ngemis dulu.
Kalau uang yang berkuasa, ingat saja para spekulan yang mempermainkan harga dolar. Bisa dibabat habis hutan-hutan, diuruk danau-danau, dikuras habis kekayaan alam, “dirusak” nurani kita dan seribu satu keburukan, kejahatan lainnya. karena atau demi uang.
Dimuat Sinar Pagi, 22 Pebruari 1998
- This is my book:
No comments:
Post a Comment