Perang sering membawa kesewenangan, kekejaman, penderitaan dan duka. Perang menanam kebencian, permusuhan dan cenderung menumpulkan peri rasa orang-orang yang terlibat.
Hanya dalam perang, membunuh orang dibenarkan, tidak dituntut.
Saya terkenang kata-kata seorang ibu A.S. yang menolak perang teluk:
“Aku tak ingin kehilangan putraku. Aku juga tak ingin ia dididik, diajari, agar dibenarkan membunuh, menembaki putra-putra kesayangan sesama ibu disana.”
Doa, jeritan hati ibu ini, yang ibaratnya bisa meluluhkan batu, tidak berhasil menggugah hati Batara Kreshna dan para pemimpin dunia untuk menghindari perang “Bharata Yuda.”
Dan saya melamun. Adakah seorang isteri yang ingin kehilangan suaminya; seorang kekasih, kehilangan kekasihnya?
Meski ayahnya disanjung, dihormati sebagai pahlawan, adakah seorang anak yang bisa merasa bangga dan bahagia jika tahu bahwa ayahnya menembaki ayah-ayah tercinta sesama anak dan membawa penderitaan dan duka pada mereka?
Tidak ada gadis yang bahagia jika kekasihnya merenggut nyawa kekasih sesama gadis.
Apa lagi adakah seorang yang ingin kehilangan nyawanya dalam tugas militer yang mewajibkan, memaksanya ikut perang?
Tetapi tidak semua tentara pendudukan Jepang semasa dulu di Indonesia, berlaku buruk.
Suatu malam, saya dengan adik-adik yang masih kanak-kanak, duduk-duduk, bergurau, berceloteh, bermain santai di kebun. Tak disangka-sangka, seorang Jepang berpakaian sipil dengan sopan minta permisi ikut nimrung dan ngobrol.
Melihat kami, ia terkenang dan rindu akan anak-anak dan isteri sendiri di Jepang. Bukankah ia pun salah satu korban perang karena dipaksa harus berpisah dari keluarganya?
Entah berapa lagi diantaranya yang, bagai burung, tak akan pernah bisa kembali lagi ke sarangnya.
Dimuat Jayakarta, 31 Juli 1992
- This is my book:
No comments:
Post a Comment