Begitu dikabarkan sebuah koran ibu kota terkemuka di tahun 1992 dengan bangga, keren, seakan-akan mau mengimbau bahwa ini yang perlu diwujudkan demi kemajuan. Manusia, sepertinya dididik, dipacu untuk kelak menjadi robot, alat dengan produktivitas tinggi.
“Waduh! Jika kesejahteraan, kenyamanan dizaman itu harus diperoleh dengan kerja begitu kejam dan keras layaknya mesin saja, saya mengungsi dan sebaliknya, akan menjadikan setiap hari menjadi hari libur. Tiada hari tanpa libur. Bersantai 24 jam sehari. 7 hari libur seminggu!!!” Pak Arif berseloroh..
“Lalu tinggal dilembah indah Cinangka yang dilalui kali Pasanggrahan, macul, menanam talas, kacang tanah, nangka, manggis, nyawah, ngangon kerbau, belajar main kecapi dan kembali menjadi orang bodoh, ketimbang menjadi ‘robot’ pintar yang menghuni rimba beton, pencakar langit beriklim teknologi tinggi.
Kalau mau juga, membuat teknologi tinggi yang sanggup membuat orang cukup bekerja sehari seminggu untuk menghidupi keluarga bahkan masih cukup untuk bertamasya ke luar negeri.
Membuat murid, mahasiswa cukup sekolah, kuliah sehari seminggu untuk menjadi amat pandai dan masih bisa lulus jauh sebelum waktunya.
Lalu, teknologi yang melenyapkan kemiskinan dari muka bumi, membuat hidup lebih bahagia, membangun dunia yang lebih menyenangkan, lebih hijau,lebih asri.
“Bukan, tapi technologi tinggi yang membuat orang tidak perlu kerja, menjadi sangat pintar tanpa belajar dan hidup makmur. Ha. Ha. Si upik nyeletuk.
Bukan teknologi tinggi yang membuat orang sibuk menekan, memangsa, membunuh sesama insan dalam persaingan, perlombaan yang tak bisa diterima akal sehat.” Begitu kata Pak Arif.
Dimuat Jayakarta, 13 Oktober 1992
This is my book. You can read it.
No comments:
Post a Comment