Monday, January 30, 2017

Putri Diana

Ketika  mendengar berita  kepergian putri Diana. Saya hampir  tidak bisa  menelan,  kata seorang ketika diundang  di pesta  makan.

Bagaimana saya bisa bahagia,  meski menarik lotere hadiah utama, jika mengingat kepergiannya,  kata orang lain.

Kalau pun  orang  tidak melihat  bendera-bendera setengah  tiang,  hampir tidak  ada  satu orang pun yang  bendera  batinnya tidak setengah tiang.

Dan  kalau  dipikir, ia  begitu  disayangi  banyak
orang.

Upacara, pesta pernikahannya seperti cerita dongeng dan mungkin yang terbesar dalam abad ini, tinggal di  istana,  dikelilingi, dijaga, dilayani pejabat istana, indah pakaiannya, anggun  penampilannya, bak seorang dewi  di  kayangan.

Namun, tiada yang tahu, meski ia  tersenyum,
diam-diam, di sudut hatinya ia menangis, merana.

Apalah  artinya mempunyai gelar "Her  Royal High-­ness" tetapi hidup sebagai istri yang tidak bahagia,  digosip,  dikejar-kejar,  disorot,   dibidik
pemburu  foto  biadab.  

Konon,  setelah  bercerai, kalau  bertemu  putra sulungnya,  aturan  kerajaan  mengharuskannya melakukan  "curtsy" (merendahkan diri  dengan menekukkan lutut), untuk  menghormati anaknya sebagai putra mahkota.

"Induk  binatang  liar saja, dengan  bebas,  tanpa
upacara  bisa mendatangi anak-anaknya, lalu langsung mendekap, saling jilat- menjilat penuh kasih sayang,"  kata  seorang ibu.

Saya  teringat  Karna ketika diangkat menjadi raja Anga, melanggar aturan dengan  bersujud dihadapan kaki Adirata yang  hanya seorang  sais miskin,  berpakaian lusuh,   bapak angkatnya, dalam cerita Mahabharata.


Putri Diana tak berminat menjadi ratu lagi. 

Selain sudah menjadi ratu di hati Dodi Al Fayed, pangeran barunya,  ia  juga bahagia menjadi ratu di  hati irakyat. Bukan begitukah apa yang dimpikannya?

"Tidak lebih bijaksanakah, bila orang menghormati­nya dengan menyenangkannya, dulu, ketika ia  masih hidup  ketimbang menghormatinya  sekarang dengan memamerkan  upacara  pemakamannya secara   besar-besaran kalau ia sudah mati?" kata seseorang.

Satu  per satu, orang Inggris, tua dan muda,  laki
dan  perempuan,  datang  membawa  karangan bunga tangan. Dengan air mata berlinang mereka  meletak kannya di depan istana kerajaan. 

Ada yang menyalakan  lilin. Batin mereka berbisik,  berdoa,  "Anda selalu hidup di hati kami. 'Love'."

Mereka  membawakan  bunga-bunga,  tetapi tak 
sesuram  karangan bunga  untuk orang mati yang
berwarna putih  dengan pita  berwarna ungu, melainkan  bunga-bunga  yang terindah,
hanya yang terindah, berwarna cerah  dan
harum untuk Diana yang begitu disayangi.

                                                        September l997



This is my book. You can read it.

No comments: