Cerita Pak Johan pada
saya.
Dari Gobang kira-kira jam 8.30. Ik mau
naik sepeda lewat gunung dari Gobang, kecamatan Rumpin mau memotong jalan ke
Jambu.
Bayangin. Engga tahu jalan, engga ada di peta, tanya sana sini.
Jalanan tanah setapak menanjak, meski mesti ngedorong sepeda, tetapi
mengasyikkan. Jalannya pas untuk orang jalan kaki atau untuk sepeda motor dan
teduh diawal perjalanan.
Sepanjang jalan ik hampir engga pernah bertemu seorangpun, apalagi yang naik sepeda.
Yang tahu, tukang ojek, dia bilang: “ke Cilangkap dulu, lalu ke Panunggangan, Wates baru balik ke Jambu.”
Sepertinya gampang. Tapi orang-orang desa tidak tahu di mana itu Jambu. Mungkin tukang ojek yang tahu, pikir, “ini orang kakek nekad, gila benar mau lewat gunung. Setengah jalan tentu sudah balik lagi.”
Kalau ik tanya “kalau ke Cilangkap sampai satu jam engga?” Orang jawab “engga sampai satu jam.” Ik besar hati karena dekat, Bayangin udah dua jam belum sampai-sampai juga ngedorong sepeda. Baru tahu yang dimaksud orang itu, kalau dalam satu jam tidak sampai, mesti dua atau tiga jam baru sampai.
Pikir-pikir dari Cilangkap nanti enak ada jalan-jalan lebih besar dan lebih ramai. Tetapi sebaliknya, Cilangkap di tengah gunung. Cuman ada beberapa gubug, rumah bambu. Engga ada lalulintas. Tanya lagi Jambu, engga ada yang tahu, cuman tahu Panunggangan.
Jalan setapak lagi, tapi masih enak teduh ngedorong sepeda. Lihat ojek lewat rasanya pengen naik motor.
Sampai di Panunggangan dengan susah payah dan lama, ah, ik girang ada jalan mobil, pas untuk mobil. Tentu sudah lebih dekat ke jalan besar.
Nah kalau jij mau tahu bagimana rasanya neraka jij mesti lewati jalan ini jam 12.00 waktu terik-teriknya matahari dengan sepeda lewat jalan bebatuan besar, engga bawa bekal, cuman sisa setengah botol minum air aqua, sendirian.
Dua jam jalan engga ketemu satu mobil pun. Ik banyak dorong sepeda, kalau dinaikin, takut terjadi musibah ban bocor, lebih sulit lagi keluar dari neraka, bagaimana ngedorong sepeda bocor. Tidak ada tukang sepeda, satu pondok pun tidak ada.
Biar sudah jalan amat lama setiap kali ik tanya, “Wates udah dekat belum?” Orang selalu bilang “masih jauh.” engga mau sampai-ampai juga.
Oh, teriknya. Baju ik tarik keatas buat tutup kepala dan muka, masa-bodoh, engga ada orang yang lihat. Ik uletin, ik sabarin, ik bayangin ... ik engga mau menyerah, akhirnya toh mesti sampai di Wates, Cigudeg jalan Raya!!
Inilah surga ketika akhirnya sampai, meski itu masih 47 km ke Bogor dan naik sepeda tiga jam lagi melewati Jambu.
Sore, di kereta api mau pulang ke Jakarta seorang penumpang waktu mendengar kecemasan ik kalau ban bocor di pegungungan, berkata, “sebelum berangkat sebaiknya berdoa dulu.” Tetapi di rumah, si Boy bilang, “saya sih engga khwatir, siapkan aja ban serep, bawa pompa.” Sekarang ik mau belajar buka dan pasang ban aja. Ik pasang ban yang otomtis rapat kembali kalau terjadi kebocoran.
Pikir-pikir engga tahu malu nyuruh Tuhan jagain kita. Dia tentu bilang “malas lu, mau enaknya aja.”
Tapi kalau terjadi musibah, mungkin lebih seru, tegang. Bukan mustahil ada orang yang mau tolongin, ik mesti nginep. Ik tentu amat bahagia, selamat di tolongin dia. Apa lagi dia yang nyelamatin ik, tentu lebih bahagia lagi.
Sampai di rumah sekitar jam 8 malam.
Ik punya hati, napas jadi plong, ik punya kaki jadi enteng, ik punya selera makan tinggi, ik mengalami, lihat, rasa yang orang lain tidak bisa mengalami, ikut lihat, rasa.
Ik bangga berhasil melewati neraka. Hitung-hitung, engga disangka-sangka, ini ik punya hadiah ulang tahun ke 73. Asyiiik.
Tahun 2003
This is my book. You can read it.
No comments:
Post a Comment