Saya baru habis makan roti bakery dengan isi ayam-jamur. Sedap, lezat rasanya. Tetapi baru makan sebuah, kenyanglah sudah.
Begitu saya makan lagi sesuap nasi, rasa kenyang menghilang dan makan lagi nasi sebakul, bahkan lebih nikmat, meski hanya dengan masak pare-tahu.
Makan nasi bikin lapar, makan roti, kentang, masakan restoran, bikin kenyang. "Machtig" ("berat") kata orang Belanda. Memang enak, tetapi untuk makan sesekali. Kalau saban hari disuguhi makanan "berat" begitu, mana tahan?
"Justru nasinya yang bikin enak. Memilih nasinya ketimbang lauknya yang enak," kata istri.
Tidak seperti masakan mewah, masakan rakyat umumnya banyak yang "ringan". Makan nasi dengan lauk seperti lalap, pepes oncom, sayur bening, paru, sambal colek dalam cobek, wah pedasnya membangkitkan selera!
Lalu minum air kendi, bukan aqua, air kelapa lo, dan duduk santai, rileks - tidak seperti di hotel mewah-, nyaman, bebas, tanpa pusing memakai jas, dasi, sepatu, tanpa menghiraukan sendok, pisau, garpu, tanpa perlu meletakkan serbet diatas pangku, kaki dinaikkan saja keatas kursi, bangku.
Betah, tak dikejar hutang, waktu, tak diusik nyamuk, tamu, hanya ditemani anggota keluarga, orang terdekat. Sambil ngobrol dan berlama-lama.
Wow, sedapnya! Orang sepertinya pesta makan setiap hari.
Murah, non-kolestrol lagi.
Nah, macam itulah seni makan atau resep makanan paling enak.
"Penyedap-penyedapnya" dong, kata si upik. Mana bisa ditemukan di buku resep masakan, dijumpai, dibeli di restoran, dipunyai juru-masak top untuk pesta perkawinan, jamuan di istana raja sekalipun?
Makanan paling enak dapat dibeli. Enak makan tidak..
Sehat, senang, bahagia, lapar adalah penyedap nomor satu.
Desember 1996
This is my book. You can read it.
No comments:
Post a Comment